Dalam sesuatu acara amal, seseorang gadis muda yang baru-baru ini putus dari pacarnya berkesan pada suatu mesin tik tua : dipasarkan seharga cuma lima dolar serta tambah membuat tertarik. Kunjungannya ke acara amal itu selanjutnya disudahi dengan menggendong pulang mesin tik itu.
Hingga di apartemen dia sedih. Tuts-tutsnya terhambat, spasinya kalut, serta belnya mati. Karena itu esoknya dia bawa mesin tik tua barunya itu ke suatu toko reparasi. Kembali dia dibuat sedih lantaran si reparatornya gak pengin sentuh mesin itu, ditambah lagi melakukan perbaikan.
“Nona, saya melakukan perbaikan mesin-mesin. Namun ini? Ini mainan, ” kata pak tua penjaga toko dengan ketus.
Simka juga : contoh cerpen persahabatan
Dia lalu membuka mainan yang dikatakan mesin tik oleh si nona. Sekadar buat tunjukkan ucapannya. Tangannya lalu melambai-lambai pada rack pada dinding yang didereti serbaneka mesin tik.
“Lihatlah. Semuanya ini mesin. Dibikin dari baja. Hasil karya insinyur. Dibuat di pabrik-pabrik di Amerika, Jerman, Swiss. Kau tahu kenapa sekarang ini mereka ada di rack di atas sana? ”
“Karena mereka dipasarkan? ”
“Karena mereka dibuat biar bertahan buat selama-lamanya! ” kata si lelaki tua sembari berteriak.
Saat ini si gadis sungguh-sungguh patah hati. Dengan putus harapan dia “curhat” kalau dia mau menulis suatu dengan mesin tik buat isikan setiap hari serta menulis surat buat ibunya. , dengan tulisan-tulisannya dia mau tinggalkan satu yang mempunyai nilai buat anak-anaknya kedepannya.
Si penjaga toko tersentuh juga. Dia terus memberikan suatu mesin tik hasil Swiss keluaran 1959. Dia mengatakan mesin tik itu jadi pucuk terhebat mesin tik manual. Gak tertandingi sampai kapan lantas. Marcedes-Benz-nya dunia mesin tik : Hermes 2000.
“Hermes ini dibikin disaat saya berumur sepuluh tahun. Mesin tik ini tak dapat dihancurkan. ”
“Sama sepertimu, ” tukas gadis itu.
“Anak-anakmu bakal belajar menulis dengan mesin tik ini, ” jawab si penjaga toko sembari tersenyum.
Kunjungan yang berasal memilukan itu selanjutnya selesai melegakan. Si nona pulang serta memakan malam itu bercengkrama dengan mesin tik barunya—benar-benar mesin dalam makna kenyataannya. Artikel Terkait : akomodasi adalah
Kejadian simple itu tersua dalam suatu narasi bertema “Inilah Meditasi Hatiku” karya Tom Hanks. Iya, Tom Hanks yang aktor Hollywood peraih dua piala Oscar itu. Pada Oktober 2017 dia menerbitkan suatu bunga rampai fiksi yang dijuduli Uncommon Model : Some Stories. Serta terjemahan bahasa Indonesianya diluncurkan oleh Noura Books pada Januari 2019.
“Inilah Meditasi Hatiku” yang saya cuplik itu, seturut pernyataan Tom Hanks sendiri, sesungguhnya yaitu kejadian bagaimana dia mendapat mesin tik pertamanya medio 1973. Masa itu seseorang temannya melungsurkan suatu mesin tik tua kepadanya lantaran si kawan memperoleh mesin tik elektrik Olivetti baru yang cantik.
Sayangnya, mesin tik lungsuran itu udah demikian rusaknya sampai sulit dimanfaatkan. Seusai lebih dari satu 1/2 tahun mengusahakan mereparasinya, Tom Hanks menyerah. Mesin tik itu gak dapat dimanfaatkan kelanjutannnya.
“Waktuku habis cuma buat melakukan perbaikan, seperti yang dilaksanakan gadis dalam narasi itu. Apa yang berlangsung kepadanya di toko reparasi serupa obrolanku dengan orang-tua itu, ” papar Tom Hanks terkait cerpennya itu sama seperti dilansir halaman National Public Radio.
Dibalik figure populernya jadi aktor, Tom Hanks diketahui jadi kolektor mesin tik yang obsesif. Kira-kira 250-an mesin tik antik jadi koleksinya serta 90 prosentasenya masih memiliki fungsi prima. Sebab itu, Tom dapat dengan fasih serta tepat memperjelas fitur-fitur Hermes 2000 dalam cerpen itu. Pun uraian yang hidup terkait Remington 7 serta Royal Safari.
Lantaran kesukaannya pada mesin tik pulalah dia setelah itu menganggit fiksi. Mesin tik-mesin tik itu menyelisip ke 17 fiksi yang terhimpun dalam Uncommon Model.
Proses Kreatif
Dorongan buat serius menulis diterima Tom dari Nora Ephron, sutradara juga sekaligus penulis naskah film Sleepless in Seattle (1993) . Dalam film itu Tom turut ikut serta jadi Sam Baldwin, si protagonis khusus.
Tom sudah lama terbiasa menulis dengan mesin tik di celah latihan atau pemungutan gambar. Dia biasa menulis memo, perkataan terima kasih, atau tanggapan-tanggapan atas satu perihal saat proses produksi. Satu kali Nora paham adat Tom itu.
" Terus ia senantiasa berikanku alat tuliskan, ” saya Tom sama seperti dilansir halaman Time.
Sejak mulai itu Tom mulai menseriusi aktivitas masa senggangnya itu, dibantu Nora. Sampai dia setelah itu menulis suatu pemikiran buat The New York Times. Pemikiran berjudul “I Am TOM. I Like to TYPE. Hear That? ” itu muncul pada 3 Agustus 2013 lalu.
Isi pemikiran Tom gak jauh-jauh dari bab kegandrungannya pada mesin tik. Baginya menulis dengan mesin tik laiknya memahat suatu batu. Apa yang terdaftar bakal langgeng, gak seperti e mail yang dengan ringan dihapus. Dengan suara menekankan dia pun mengoceh terkait pilihan mesin tik yang suaranya sesuai dengan si pengetik.
“Remington dari tahun 1930-an bernada THICK THICK. Midcentury Royals terdengar seperti nada CHALK yang berulang kali. Bahkan juga mesin tik yang dibikin buat permulaan jaman jet seperti Smith Corona Skyriter serta karya Olivetti, bernada FITT FITT FITT seperti lesatan peluru dari pistol Walther PPK berperedam punya James Bond, ” tuliskan Tom.
Dengan mesin tik juga dia mulai menulis draft cerita-ceritanya. Satu kali dia membaca majalah The New Yorker serta tertarik pada salah satunya cerpennya. Dia terus berkirim satu diantaranya ke majalah itu. Gak dinyana editor menggemarinya. Narasi berjudul “Alan Bean Plus Four” itu selanjutnya muncul pada 27 Oktober 2014.
Banyak orang-orang suka dengan cerpen itu, termasuk juga Ajay Singh “Sonny” Mehta, editor kepala Penerbit Knopf. Karena itu Sonny menawari Tom buat menerbitkan cerita-cerita anggitannya.
“Yah, mengapa tak, ” dahsyat Tom menyepakati.
Jadilah sejak mulai itu dia berkonsentrasi menuntaskan cerita-ceritanya. Seperti biasa, dia menulis di celah skedul produksi filmnya yang padat.
" Kukerjakan cerita-cerita itu dalam dua tahun. Saya menulis di hotel saat tour wartawan. Saya menulis kala berlibur, di pesawat, dalam rumah, serta di kantor. Disaat saya sungguh-sungguh dapat bikin skedul terus, saya menulis dari jam 9 pagi sampai jam 1, ” saya pemeran Robert Langdon di film The Da Vinci Kode itu seperti dilansir The Guardian.
Ada Nostalgia, Ada Satir
Senantiasa ada mesin tik dalam tiap-tiap kejadian hasil Tom. Tidak tahu itu sekadar hanya sisipan atau jadi bagian penting dalam plot. Tampaknya tersebut langkahnya menjalarkan renjana besarnya bakal mesin tik terhadap pembaca. Meskipun demikian, tema-tema yang dikisahkannya sesungguhnya lebih luas, mulai bab pertemanan, keluarga, cinta, serta sehari-hari manusia.
Tom Hanks dengan nama besarnya di dunia film semestinya gak mesti susah payah biar kiprah antologi fiksinya itu sukses di bursa pasaran. Dia bisa jadi gak berpretensi jadi penulis fiksi buat selanjutnya. Meskipun demikian toh dia melalui pun proses laiknya penulis fiksi lain. Jadi, paling tidak kisah-kisah Tom gak datang ala kadarnya.
Yang paling mencolok serta asyik diikuti pastinya kejadian “Alan Bean Plus Four” yang udah terkurasi oleh editor The New Yorker—tempat tayangnya naskah-naskah sejumlah penulis terhebat Amerika. Cerpen ini mengisahkan terkait serangkaian remaja yang merancang roket serta terbang ke bulan.
Itu yaitu kejadian fantasi ilmiah yang membumi serta merasa dekat atas pertautannya dengan aplikasi-aplikasi telpon seluler cerdas. Pun nostalgik karena ada kilatan ke beberapa nama lambang pop seperti George Harrison, Pink Floyd, atau film Lion King. Nama pesawat ulang-alik tersebut yaitu Alan Bean yang mendapat inspirasi dari astronom ke-4 dari NASA yang menginjakkan kaki di bulan.
Kesan nostalgik yang lebih kental merasa dalam kolom-kolom Hank Fiset, si wartawan oldschool yang tergagap-gagap melawan jaman internet. Melalui seri “Kota Kita Hari Ini Berbarengan Hank Fiset” Tom membawa pembaca melihat waktu-waktu disaat meja-meja di newsroom suatu media pers disesaki mesin tik, bukan pc serta internet.
Koran Hank Fiset hampir berhenti buat lantaran saat ini banyak orang membaca berita lewat telpon seluler cerdas atau laptop. Dia yang cuma seseorang wartawan tua semestinya tidak sanggup menghindar hal semacam itu. Dia lantas mengaku kalau itu yaitu perubahan.
Namun, dia pun melalui kolomnya yang ikut kritis, masih sempat menilai lewat contoh teks yang menjadi acak-acakan lantaran spesifikasi autocorrect di telpon seluler. Di zamannya, disaat banyak wartawan menulis serta menyunting dengan mesin tik, hal semacam itu hampir kemungkinannya kecil berlangsung.
Atau mungkin sindiran halus dalam kalimat ragam ini : “Satu-satunya caramu membaca kolomku serta semua hal lain yang tengah kau pegang ini yaitu lewat satu diantara banyak fitur digitalmu—ponsel, barangkali, atau jam tangan yang baterainya butuh diisi kembali tiap-tiap malam.
Yang lain yang pantas jadi perhatian yaitu cerpen “Tur Promo di Kota Cahaya” yang mengisahkan terkait kehidupan artis kelas B yang kejatuhan pulung ikut serta dalam produksi film besar Hollywood. Tampaknya Tom menulis kejadian ini jadi satir atas kehidupan showbiz yang sejauh ini dia jalani.
Cerpen itu mengisahkan terkait Rory Thorpe yang tergagap pada skedul super padat yang mendadak mesti dia perankan serta kenaifannya atas kepopuleran semu yang dia bisa dengan cara instant. Tom ceritakan bagaimana Hollywood mengoles citra artis-artinya lewat mantra “kejujuran secukupnya”, sampai selanjutnya Rory mengerang, “Aku gak yakin banyak kata yang keluar dari mulutku
Hingga di apartemen dia sedih. Tuts-tutsnya terhambat, spasinya kalut, serta belnya mati. Karena itu esoknya dia bawa mesin tik tua barunya itu ke suatu toko reparasi. Kembali dia dibuat sedih lantaran si reparatornya gak pengin sentuh mesin itu, ditambah lagi melakukan perbaikan.
“Nona, saya melakukan perbaikan mesin-mesin. Namun ini? Ini mainan, ” kata pak tua penjaga toko dengan ketus.
Simka juga : contoh cerpen persahabatan
Dia lalu membuka mainan yang dikatakan mesin tik oleh si nona. Sekadar buat tunjukkan ucapannya. Tangannya lalu melambai-lambai pada rack pada dinding yang didereti serbaneka mesin tik.
“Lihatlah. Semuanya ini mesin. Dibikin dari baja. Hasil karya insinyur. Dibuat di pabrik-pabrik di Amerika, Jerman, Swiss. Kau tahu kenapa sekarang ini mereka ada di rack di atas sana? ”
“Karena mereka dipasarkan? ”
“Karena mereka dibuat biar bertahan buat selama-lamanya! ” kata si lelaki tua sembari berteriak.
Saat ini si gadis sungguh-sungguh patah hati. Dengan putus harapan dia “curhat” kalau dia mau menulis suatu dengan mesin tik buat isikan setiap hari serta menulis surat buat ibunya. , dengan tulisan-tulisannya dia mau tinggalkan satu yang mempunyai nilai buat anak-anaknya kedepannya.
Si penjaga toko tersentuh juga. Dia terus memberikan suatu mesin tik hasil Swiss keluaran 1959. Dia mengatakan mesin tik itu jadi pucuk terhebat mesin tik manual. Gak tertandingi sampai kapan lantas. Marcedes-Benz-nya dunia mesin tik : Hermes 2000.
“Hermes ini dibikin disaat saya berumur sepuluh tahun. Mesin tik ini tak dapat dihancurkan. ”
“Sama sepertimu, ” tukas gadis itu.
“Anak-anakmu bakal belajar menulis dengan mesin tik ini, ” jawab si penjaga toko sembari tersenyum.
Kunjungan yang berasal memilukan itu selanjutnya selesai melegakan. Si nona pulang serta memakan malam itu bercengkrama dengan mesin tik barunya—benar-benar mesin dalam makna kenyataannya. Artikel Terkait : akomodasi adalah
Kejadian simple itu tersua dalam suatu narasi bertema “Inilah Meditasi Hatiku” karya Tom Hanks. Iya, Tom Hanks yang aktor Hollywood peraih dua piala Oscar itu. Pada Oktober 2017 dia menerbitkan suatu bunga rampai fiksi yang dijuduli Uncommon Model : Some Stories. Serta terjemahan bahasa Indonesianya diluncurkan oleh Noura Books pada Januari 2019.
“Inilah Meditasi Hatiku” yang saya cuplik itu, seturut pernyataan Tom Hanks sendiri, sesungguhnya yaitu kejadian bagaimana dia mendapat mesin tik pertamanya medio 1973. Masa itu seseorang temannya melungsurkan suatu mesin tik tua kepadanya lantaran si kawan memperoleh mesin tik elektrik Olivetti baru yang cantik.
Sayangnya, mesin tik lungsuran itu udah demikian rusaknya sampai sulit dimanfaatkan. Seusai lebih dari satu 1/2 tahun mengusahakan mereparasinya, Tom Hanks menyerah. Mesin tik itu gak dapat dimanfaatkan kelanjutannnya.
“Waktuku habis cuma buat melakukan perbaikan, seperti yang dilaksanakan gadis dalam narasi itu. Apa yang berlangsung kepadanya di toko reparasi serupa obrolanku dengan orang-tua itu, ” papar Tom Hanks terkait cerpennya itu sama seperti dilansir halaman National Public Radio.
Dibalik figure populernya jadi aktor, Tom Hanks diketahui jadi kolektor mesin tik yang obsesif. Kira-kira 250-an mesin tik antik jadi koleksinya serta 90 prosentasenya masih memiliki fungsi prima. Sebab itu, Tom dapat dengan fasih serta tepat memperjelas fitur-fitur Hermes 2000 dalam cerpen itu. Pun uraian yang hidup terkait Remington 7 serta Royal Safari.
Lantaran kesukaannya pada mesin tik pulalah dia setelah itu menganggit fiksi. Mesin tik-mesin tik itu menyelisip ke 17 fiksi yang terhimpun dalam Uncommon Model.
Proses Kreatif
Dorongan buat serius menulis diterima Tom dari Nora Ephron, sutradara juga sekaligus penulis naskah film Sleepless in Seattle (1993) . Dalam film itu Tom turut ikut serta jadi Sam Baldwin, si protagonis khusus.
Tom sudah lama terbiasa menulis dengan mesin tik di celah latihan atau pemungutan gambar. Dia biasa menulis memo, perkataan terima kasih, atau tanggapan-tanggapan atas satu perihal saat proses produksi. Satu kali Nora paham adat Tom itu.
" Terus ia senantiasa berikanku alat tuliskan, ” saya Tom sama seperti dilansir halaman Time.
Sejak mulai itu Tom mulai menseriusi aktivitas masa senggangnya itu, dibantu Nora. Sampai dia setelah itu menulis suatu pemikiran buat The New York Times. Pemikiran berjudul “I Am TOM. I Like to TYPE. Hear That? ” itu muncul pada 3 Agustus 2013 lalu.
Isi pemikiran Tom gak jauh-jauh dari bab kegandrungannya pada mesin tik. Baginya menulis dengan mesin tik laiknya memahat suatu batu. Apa yang terdaftar bakal langgeng, gak seperti e mail yang dengan ringan dihapus. Dengan suara menekankan dia pun mengoceh terkait pilihan mesin tik yang suaranya sesuai dengan si pengetik.
“Remington dari tahun 1930-an bernada THICK THICK. Midcentury Royals terdengar seperti nada CHALK yang berulang kali. Bahkan juga mesin tik yang dibikin buat permulaan jaman jet seperti Smith Corona Skyriter serta karya Olivetti, bernada FITT FITT FITT seperti lesatan peluru dari pistol Walther PPK berperedam punya James Bond, ” tuliskan Tom.
Dengan mesin tik juga dia mulai menulis draft cerita-ceritanya. Satu kali dia membaca majalah The New Yorker serta tertarik pada salah satunya cerpennya. Dia terus berkirim satu diantaranya ke majalah itu. Gak dinyana editor menggemarinya. Narasi berjudul “Alan Bean Plus Four” itu selanjutnya muncul pada 27 Oktober 2014.
Banyak orang-orang suka dengan cerpen itu, termasuk juga Ajay Singh “Sonny” Mehta, editor kepala Penerbit Knopf. Karena itu Sonny menawari Tom buat menerbitkan cerita-cerita anggitannya.
“Yah, mengapa tak, ” dahsyat Tom menyepakati.
Jadilah sejak mulai itu dia berkonsentrasi menuntaskan cerita-ceritanya. Seperti biasa, dia menulis di celah skedul produksi filmnya yang padat.
" Kukerjakan cerita-cerita itu dalam dua tahun. Saya menulis di hotel saat tour wartawan. Saya menulis kala berlibur, di pesawat, dalam rumah, serta di kantor. Disaat saya sungguh-sungguh dapat bikin skedul terus, saya menulis dari jam 9 pagi sampai jam 1, ” saya pemeran Robert Langdon di film The Da Vinci Kode itu seperti dilansir The Guardian.
Ada Nostalgia, Ada Satir
Senantiasa ada mesin tik dalam tiap-tiap kejadian hasil Tom. Tidak tahu itu sekadar hanya sisipan atau jadi bagian penting dalam plot. Tampaknya tersebut langkahnya menjalarkan renjana besarnya bakal mesin tik terhadap pembaca. Meskipun demikian, tema-tema yang dikisahkannya sesungguhnya lebih luas, mulai bab pertemanan, keluarga, cinta, serta sehari-hari manusia.
Tom Hanks dengan nama besarnya di dunia film semestinya gak mesti susah payah biar kiprah antologi fiksinya itu sukses di bursa pasaran. Dia bisa jadi gak berpretensi jadi penulis fiksi buat selanjutnya. Meskipun demikian toh dia melalui pun proses laiknya penulis fiksi lain. Jadi, paling tidak kisah-kisah Tom gak datang ala kadarnya.
Yang paling mencolok serta asyik diikuti pastinya kejadian “Alan Bean Plus Four” yang udah terkurasi oleh editor The New Yorker—tempat tayangnya naskah-naskah sejumlah penulis terhebat Amerika. Cerpen ini mengisahkan terkait serangkaian remaja yang merancang roket serta terbang ke bulan.
Itu yaitu kejadian fantasi ilmiah yang membumi serta merasa dekat atas pertautannya dengan aplikasi-aplikasi telpon seluler cerdas. Pun nostalgik karena ada kilatan ke beberapa nama lambang pop seperti George Harrison, Pink Floyd, atau film Lion King. Nama pesawat ulang-alik tersebut yaitu Alan Bean yang mendapat inspirasi dari astronom ke-4 dari NASA yang menginjakkan kaki di bulan.
Kesan nostalgik yang lebih kental merasa dalam kolom-kolom Hank Fiset, si wartawan oldschool yang tergagap-gagap melawan jaman internet. Melalui seri “Kota Kita Hari Ini Berbarengan Hank Fiset” Tom membawa pembaca melihat waktu-waktu disaat meja-meja di newsroom suatu media pers disesaki mesin tik, bukan pc serta internet.
Koran Hank Fiset hampir berhenti buat lantaran saat ini banyak orang membaca berita lewat telpon seluler cerdas atau laptop. Dia yang cuma seseorang wartawan tua semestinya tidak sanggup menghindar hal semacam itu. Dia lantas mengaku kalau itu yaitu perubahan.
Namun, dia pun melalui kolomnya yang ikut kritis, masih sempat menilai lewat contoh teks yang menjadi acak-acakan lantaran spesifikasi autocorrect di telpon seluler. Di zamannya, disaat banyak wartawan menulis serta menyunting dengan mesin tik, hal semacam itu hampir kemungkinannya kecil berlangsung.
Atau mungkin sindiran halus dalam kalimat ragam ini : “Satu-satunya caramu membaca kolomku serta semua hal lain yang tengah kau pegang ini yaitu lewat satu diantara banyak fitur digitalmu—ponsel, barangkali, atau jam tangan yang baterainya butuh diisi kembali tiap-tiap malam.
Yang lain yang pantas jadi perhatian yaitu cerpen “Tur Promo di Kota Cahaya” yang mengisahkan terkait kehidupan artis kelas B yang kejatuhan pulung ikut serta dalam produksi film besar Hollywood. Tampaknya Tom menulis kejadian ini jadi satir atas kehidupan showbiz yang sejauh ini dia jalani.
Cerpen itu mengisahkan terkait Rory Thorpe yang tergagap pada skedul super padat yang mendadak mesti dia perankan serta kenaifannya atas kepopuleran semu yang dia bisa dengan cara instant. Tom ceritakan bagaimana Hollywood mengoles citra artis-artinya lewat mantra “kejujuran secukupnya”, sampai selanjutnya Rory mengerang, “Aku gak yakin banyak kata yang keluar dari mulutku
Comments
Post a Comment