Penyidik Polres Muna menyudahi pengumpulan bukti-bukti perkara perkiraan tindak pidana menghalang-halangi kerja jurnalis dalam mengerjakan peliputan di RSUD Muna pada 2017 waktu lalu.
Perkara ini diadukan Wartawan Kolaka Pos Ahmad Evendi ke Polres Muna dengan laporan polisi nomer : LP/79/III/2017/Sultra/SPKT Res Muna, 17 Maret 2017.
Penghentian masalah itu dikeluarkan sehabis beberapa puluh wartawan di Muna mengerjakan unjuk perasaan damai di muka Polres Muna menuntut Kapolres Muna AKBP Agung Ramos Paretongan Sinaga merampungkan masalah itu lantaran penyelidikannya udah berumur dua tahun.
Baca Juga : surat keterangan kerja
Kapolres Muna AKBP Agung Ramos Paretongan Sinaga lewat Kasat Reskrim, AKP Muh Ogen Sairi mengemukakan, argumen penyidik tak menaikan masalah itu ke babak penyelidikan serta menyudahi diolah pengumpulan bukti-bukti berkat ada dua versus info yg dikasihkan saksi pakar yg didatangkan penyidik Polres Muna. Ialah, Sudirman Duhari dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) serta Muh Djufri Rachim dari Aliansi Jurnalis Independent (AJI) .
Ogen menyampaikan, saksi pakar PWI Sudirman mengemukakan asas jurnalistik (wartawan) mesti memperlihatkan ciri-ciri dan tujuan serta maksud kala ambil gambar sesuai sama Undang-Undang Nomer 40 tahun 1999 terkait Wartawan. Dalam clausal 7 ayat 2, wartawan ikuti serta mentaati asas jurnalistik.
Ke dua, seseorang jurnalis mesti mengapus poto yg diperoleh gara-gara tiada izin seandainya pemilik poto mohon dihapus. Lantaran, menurut PWI, yg diambil gambarnya mesti paham lebih dahulu siapa yg ambil gambar.
Tetap menurut PWI, wartawan yg mengerjakan pemungutan gambar dengan cara sembunyi-sembunyi itu tak dibenarkannya sesuai sama asas jurnalis.
Ke-tiga, unsur menghalang-halangi wartawan dalam mengerjakan peliputan sama seperti yg disebut dalam clausal 18 ayat 1 Undang-Undang nomer 40 tahun 1999 dibagi berubah menjadi dua sisi ialah dengan cara fisik ialah seseorang wartawan seperti dapatkan kekerasan, penganiayaan atau perampasan camera.
Dan, kekerasan non fisik, seseorang wartawan memperoleh perlakuan dengan banyak kata yg diikuti ultimatum.
“Keempat, perbuatan seorang yg memohon fotonya dihapus oleh wartawan serta seorang itu, PWI merasa tak mengerjakan perampasan, ” jelas Ogen, Rabu 27 Maret 2019.
Tidak sama dengan PWI, info saksi pakar dari AJI Djufri Rachim merasa yg dilaksanakan oleh Ahmad Evendi mengerjakan peliputan atau ambil gambar udah sesuai sama serta tidak langgar asas jurnalistik.
Ke dua, tindakan Sri Diamariati (terlapor) udah menghalang-halangi wartawan dalam mengerjakan kerja jurnalistik melanggar clausal 4, 2, serta 3 dan clausal 5 serta 6 Undang-Undang nomer 40 tahun 1999 terkait kemerdekaan wartawan.
Artikel Terkait : teks surat
“Video yg dikasihkan Ahmad Evendi, ketika kita (penyidik) mohon info pakar PWI (Sudirman) serta AJI itu kita putarkan. Kalau
mengapa dari kami mengemukakan ini belum cukuplah bukti serta minimnya alat bukti? Dari info AJI, ia tak jabarkan dengan cara terperinci. Ia jabarkan umumnya. Ia istilahnya kurang mendetail berkenaan apa yg ia berikan saran yg ia kasih sama kita. Hingga kita ambil ringkasan berpedoman pada pakar PWI, ” jelasnya.
Disamping itu, korban juga sekaligus pelapor Ahmad Evendi merasa penghentian pengumpulan bukti-bukti masalah yg dilaporkannya seperti dipaksakan.
Pertimbangannya penyidik membaca laporan perkiraan jurnalis membatasi dalam mencari atau meliput satu berita dari laporan Ahmad Evendi pada 16 April 2018.
“Hal ini lantas kami memohon klarifikasi lantaran moment perkiraan tindak pidana menghalang-halangi kerja wartawan dalam mengerjakan peliputan itu berlangsung pada 27 Maret 2017. Bukan 16 April 2018, ” jelasnya.
Lantas ketidakpasan beda ialah terdapat pada surat laporan perubahan hasil pengumpulan bukti-bukti yg dikasihkan penyidik terhadap pelapor ialah ditulis surat perintah pengumpulan bukti-bukti nomer : SP. Lidik/51/III/2017/Reskrim, tertanggal 7 Maret 2019.
“Penyidik menelpon saya, buat kembali lagi area reskrim buat ambil surat ke dua. Lantaran surat pertama ada kekeliruan pada tanggal serta tahunnya. Surat perintah pengumpulan bukti-bukti itu di mulai pada 27 Maret 2017. Bukan 7 maret 2019, ” katanya.
Pada 27 Maret 2019, Ahmad Evendi mengerjakan peliputan di RSUD Muna berkenaan perkiraan pungli.
Tetapi, kala ambil gambar di loket yg dikira tempat berlangsungnya pungutan liar, Ahmad jadi didatangi oleh pegawai diperintah biar fotonya dihapus.
Tidak cuman memohon meniadakan, sejumlah pegawai turut memajukan serta coba mengambil alat kerjanya.
Perkara ini diadukan Wartawan Kolaka Pos Ahmad Evendi ke Polres Muna dengan laporan polisi nomer : LP/79/III/2017/Sultra/SPKT Res Muna, 17 Maret 2017.
Penghentian masalah itu dikeluarkan sehabis beberapa puluh wartawan di Muna mengerjakan unjuk perasaan damai di muka Polres Muna menuntut Kapolres Muna AKBP Agung Ramos Paretongan Sinaga merampungkan masalah itu lantaran penyelidikannya udah berumur dua tahun.
Baca Juga : surat keterangan kerja
Kapolres Muna AKBP Agung Ramos Paretongan Sinaga lewat Kasat Reskrim, AKP Muh Ogen Sairi mengemukakan, argumen penyidik tak menaikan masalah itu ke babak penyelidikan serta menyudahi diolah pengumpulan bukti-bukti berkat ada dua versus info yg dikasihkan saksi pakar yg didatangkan penyidik Polres Muna. Ialah, Sudirman Duhari dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) serta Muh Djufri Rachim dari Aliansi Jurnalis Independent (AJI) .
Ogen menyampaikan, saksi pakar PWI Sudirman mengemukakan asas jurnalistik (wartawan) mesti memperlihatkan ciri-ciri dan tujuan serta maksud kala ambil gambar sesuai sama Undang-Undang Nomer 40 tahun 1999 terkait Wartawan. Dalam clausal 7 ayat 2, wartawan ikuti serta mentaati asas jurnalistik.
Ke dua, seseorang jurnalis mesti mengapus poto yg diperoleh gara-gara tiada izin seandainya pemilik poto mohon dihapus. Lantaran, menurut PWI, yg diambil gambarnya mesti paham lebih dahulu siapa yg ambil gambar.
Tetap menurut PWI, wartawan yg mengerjakan pemungutan gambar dengan cara sembunyi-sembunyi itu tak dibenarkannya sesuai sama asas jurnalis.
Ke-tiga, unsur menghalang-halangi wartawan dalam mengerjakan peliputan sama seperti yg disebut dalam clausal 18 ayat 1 Undang-Undang nomer 40 tahun 1999 dibagi berubah menjadi dua sisi ialah dengan cara fisik ialah seseorang wartawan seperti dapatkan kekerasan, penganiayaan atau perampasan camera.
Dan, kekerasan non fisik, seseorang wartawan memperoleh perlakuan dengan banyak kata yg diikuti ultimatum.
“Keempat, perbuatan seorang yg memohon fotonya dihapus oleh wartawan serta seorang itu, PWI merasa tak mengerjakan perampasan, ” jelas Ogen, Rabu 27 Maret 2019.
Tidak sama dengan PWI, info saksi pakar dari AJI Djufri Rachim merasa yg dilaksanakan oleh Ahmad Evendi mengerjakan peliputan atau ambil gambar udah sesuai sama serta tidak langgar asas jurnalistik.
Ke dua, tindakan Sri Diamariati (terlapor) udah menghalang-halangi wartawan dalam mengerjakan kerja jurnalistik melanggar clausal 4, 2, serta 3 dan clausal 5 serta 6 Undang-Undang nomer 40 tahun 1999 terkait kemerdekaan wartawan.
Artikel Terkait : teks surat
“Video yg dikasihkan Ahmad Evendi, ketika kita (penyidik) mohon info pakar PWI (Sudirman) serta AJI itu kita putarkan. Kalau
mengapa dari kami mengemukakan ini belum cukuplah bukti serta minimnya alat bukti? Dari info AJI, ia tak jabarkan dengan cara terperinci. Ia jabarkan umumnya. Ia istilahnya kurang mendetail berkenaan apa yg ia berikan saran yg ia kasih sama kita. Hingga kita ambil ringkasan berpedoman pada pakar PWI, ” jelasnya.
Disamping itu, korban juga sekaligus pelapor Ahmad Evendi merasa penghentian pengumpulan bukti-bukti masalah yg dilaporkannya seperti dipaksakan.
Pertimbangannya penyidik membaca laporan perkiraan jurnalis membatasi dalam mencari atau meliput satu berita dari laporan Ahmad Evendi pada 16 April 2018.
“Hal ini lantas kami memohon klarifikasi lantaran moment perkiraan tindak pidana menghalang-halangi kerja wartawan dalam mengerjakan peliputan itu berlangsung pada 27 Maret 2017. Bukan 16 April 2018, ” jelasnya.
Lantas ketidakpasan beda ialah terdapat pada surat laporan perubahan hasil pengumpulan bukti-bukti yg dikasihkan penyidik terhadap pelapor ialah ditulis surat perintah pengumpulan bukti-bukti nomer : SP. Lidik/51/III/2017/Reskrim, tertanggal 7 Maret 2019.
“Penyidik menelpon saya, buat kembali lagi area reskrim buat ambil surat ke dua. Lantaran surat pertama ada kekeliruan pada tanggal serta tahunnya. Surat perintah pengumpulan bukti-bukti itu di mulai pada 27 Maret 2017. Bukan 7 maret 2019, ” katanya.
Pada 27 Maret 2019, Ahmad Evendi mengerjakan peliputan di RSUD Muna berkenaan perkiraan pungli.
Tetapi, kala ambil gambar di loket yg dikira tempat berlangsungnya pungutan liar, Ahmad jadi didatangi oleh pegawai diperintah biar fotonya dihapus.
Tidak cuman memohon meniadakan, sejumlah pegawai turut memajukan serta coba mengambil alat kerjanya.
Comments
Post a Comment